Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengajukan Revisi Undang-Undang (RUU) Panas Bumi. Keberadaan RUU ini diharap bisa mengoptimalkan penggunaan panas bumi sebagai sumber energi. Komisi VII DPR sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Panas Bumi.
Sembilan fraksi yang tergabung dalam Pansus sepakat melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai RUU Panas Bumi. Kesepakatan ini tercapai dalam rapat kerja Pansus RUU Panas Bumi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menteri ESDM Jero Wacik mengapresiasi upaya Pansus Panas Bumi untuk mempercepat pembahasan revisi
"Dari pandangan seluruh Fraksi, saya cukup senang bahwa semua sepakat untuk mendorong adanya RUU Panas Bumi," kata Wacik di Jakarta, Senin (21/10).
Wacik menjelaskan, panas bumi sebagai energi baru terbarukan (EBT) memiliki potensi cukup besar bagi pembangkit listrik untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Dengan potensi geothermal nasional sebesar 30.000 mega watt (MW), tidak dipungkiri hal tersebut mampu menjawab kebutuhan listrik pada generasi mendatang.
"Panas bumi merupakan energi yang ramah lingkungan dan gas emisinya jauh lebih rendah dibanding sumber energi lainnya," tutur Wacik.
Selama ini hambatan dalam menjalankan pengembangan panas bumi dikarenakan terbenturnya sejumlah aturan dari lintas Kementerian. Produksi geothermal yang dianggap sebagai kegiatan pertambangan dengan beroperasi di kawasan hutan menyebabkan sulitnya mendapat izin dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
"Aturannya dianggap ini adalah kegiatan tambang. Sesuai dengan aturan Kemenhut, kegiatan tambang tidak boleh berjalan di hutan konservasi. Ini yang harus kita benahi," katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana menambahkan, dari sebaran titik potensi sumber panas bumi terdapat 15 titik yang berada di kawasan hutan lindung. Potensi panas bumi di kawasan itu mencapai 6000 megawatt.
Rida menargetkan Indonesia mampu menggantikan posisi Filipina dalam penggunaan panas bumi paling lambat 2020. Kapasitas terpasang di Filipina saat ini sekitar 1900 megawatt. "Kalau PLTP Muara Laboh, Rajabasa dan Rantau dadap selesai, total terpasang sekitar 2000 MW," jelasnya.
Nantinya, RUU No. 27 Tahun 2003 akan mengubah enam hal yang selama ini dinilai menghambat implementasi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Keenam poin tersebut adalah pengaturan pengusahaan energi panas bumi di kawasan hutan lindung dan konservasi. Kemudian pengaturan kepemilikan saham.
Diatur juga mengenai kewenangan pemerintah untuk eksplorasi dan eksploitasi diberikan penugasan kepada BUMN dan badan usaha swasta untuk meningkatkan panas bumi.
Terkahir, kewenangan menteri untuk mencabut izin dan pembatalan izin yang diberikan oleh gubernur. Poin kelima ialah pemberian participating interest untuk memberi kesempatan pemda mengelola sumber daya panas bumi. Poin terakhir adalah ketentuan peralihan lebih tegas untuk jangka waktu pengelolaan panas bumi.
Ketua Pansus Panas Bumi Milton Pakpahan mengatakan, pihaknya segera melakukan pembahasan Daftar Investaris Masalah (DIM). Selain itu, DPR juga akanmenggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pemangku kepentingan seperti PLN maupun asosiasi panas bumi.
"Kami targetkan RUU Panas Bumi ini masuk paripurna pada April mendatang," kata Milton.
Lebih lanjut ia mengatakan, anggota Pansus telah diagendakan untuk melakukan kunjungan kerja ke Filipina. Kunjungan kerja ini dalam rangka melihat pengelolaan energi baru terbarukan di wilayah tersebut. Filipina menjadi pilihan lantaran negara tersebut hanya memiliki sumber energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik.
"Filipina sangat memberi perhatian untuk tenaga matahari, tenaga air maupun potensi yang ada di hutan," ujarnya.
http://www.jdih.serangkab.go.id/berita-151-uu-panas-bumi-segera-direvisi.html